Oleh Jamal D. Rahman
Mengenang puasa Ramadan pada masa kanak-kanak saya adalah mengenang bhancèt —sesuatu yang kini telah hilang dalam kebudayaan Madura. Bhancèt yang terkenang bagi saya adalah bhancèt kakek dari pihak ibu. Di masa kanak-kanak, saya memang tinggal bersama kakek, yang —saya ingat betul— sering mengelus ubun-ubun saya dengan tangannya yang lembut. Kampung kakek saya adalah Lembung Barat, kurang-lebih 14 km dari kota Sumenep, Madura, Jawa Timur. Inilah kampung halaman Bindara Saod, salah seorang sultan Sumenep di abad ke-18 yang terkenal. Sudah barang tentu kakek sering mengisahkan kehebatan Bindara Saod, dan dengan rasa bangga seringkali mengingatkan bahwa sultan itu berasal dari kampung halamannya. Saya sering diajak berziarah ke kuburan Nyai Izza, istri pertama Bindara Saod, di pemakaman desa yang sangat tua. Juga ke kuburan Kè Pekkè (Kiai Faqih), guru Bindara Saod, di kompleks yang sama. Saya terkesan dengan kisah-kisah kakek. Tapi kalau mengingat puasa Ramadan di masa-masa itu, yang terbayang di benak saya tetaplah bhancèt.
Bhancèt berdiri tegak di halaman rumah kakek. Berbentuk balok, terbuat dari batu bata, adukan tanah dan semin —ya, balok tembok. Tingginya 70 cm, seperut saya ketika itu. Lebar masing-masing sisi samping dan sisi atasnya 30 cm. Tepat di titik tengah atas balok itu tertancap balok besi setinggi 10 cm, dengan lebar sisi samping masing-masing 2 cm. Di permukaan balok tembok itu terdapat 2 garis membujur ke utara dan selatan tepat di sisi barat dan timur balok besi. Ada pula 2 garis cincin melingkari balok besi di tengahnya. Jarak titik sumbu balok besi dengan garis cincin pertama 9 cm; dengan garis cincin kedua 10 cm. Kakek melihatnya dari dekat setiap hari. Bhancèt memang harus dilihat dari dekat, pada ketika hari cerah, sebab hanya dengan demikian petunjuknya dapat terbaca. (more…)