Jamal D. Rahman

14 Februari 2011

Multikulturalisme dan Kemungkinan Sastra Indonesia

Filed under: Makalah Seminar — Jamal D. Rahman @ 05:00

Oleh Jamal D. Rahman

Multikulturalisme memberikan harapan baru bagi keinginan untuk hidup bersama dalam pluralisme budaya. Ia memperkuat landasan dan wawasan tata kebudayaan, demi lebih menjamin hubungan dan pergaulan yang adil antarunsur kebudayaan itu sendiri. Sudahlah pasti kehidupan bersama yang sehat dan adil, baik secara sosial, politik, maupun budaya secara umum, baik pada tingkat lokal, nasional, regional maupun global, selalu merupakan tuntutan yang mendesak. Globalisasi memang berhasil mendekatkan atau bahkan menghapus sama sekali jarak georafis, tetapi ia tidak mendekatkan jarak kultural yang terdapat pada berbagai tingkatan. Sampai batas tertentu, jarak kultural melahirkan sentimen budaya yang seringkali menimbulkan ekses dan atau bahkan letupan sosial yang tidak diharapkan. Tantangan yang dihadapi semua lapisan sosial adalah bagaimana menjamin sentimen budaya selalu positif dan konstruktif. Untuk sebagian, multikulturalisme adalah jawaban atas tantangan tersebut.

Muncul pada tahun 1960-an dan mulai dikenal luas sejak 1970-an, multikulturalisme lahir dalam hubungannya dengan kebutuhan-kebutuhan budaya kaum migran non-Eropa di negara-negara Anglofon. Secara umum dapat dikatakan bahwa kelahiran multikulturalisme berkaitan dengan kian luasnya konsekuensi sosial dan budaya yang tidak diinginkan dari imigrasi dalam skala relatif besar ke negara-negara Eropa, Amerika, dan Australia. Ia mendorong kebijakan pemerintah dalam mengatur pluralisme etnis dalam politik nasional. Dalam konteks itu, multikulturaslisme telah mendesak negara dan atau kelompok-kelompok dominan untuk memberikan akomodasi politik terhadap semua kebudayaan dan kelompok minoritas terutama yang berkaitan dengan ras dan etnisitas. Dalam perkembangannya kemudian, multikulturalisme mengangkat juga isu-isu yang lebih kontroversial, seperti nasionalisme, aboriginalitas (di Australia), perbedaan warna kulit, dan agama.

Secara genealogis, multikulturalisme barangkali tidak relevan bagi kita di sini di Indonesia. Tetapi semangat dan prinsip-prinsipnya jelas amat kita butuhkan dan, melihat konteks keindonesiaan kita, tentu saja sangat relevan bagi kita. Letupan-letupan sosial antaretnis masih kerap terjadi dan bahkan berbentuk kekerangan yang mengerikan, seperti baru-baru ini meletus di Tarakan, Kalimantan Timur. Tak ada jaminan bahwa letupan serupa tak akan terjadi lagi, betapa pun tak seorang pun dari kita mengharapkannya. Di samping itu, sentimen kelompok (etnis, agama, sosial, politik, dll.) di Indonesia tampak masih sangat rentan, yang sebagiannya disokong oleh pandangan-pandangan sempit dan tertutup. Kecemasan dan bahkan ketakutan yang bersumber dari perbedaan budaya tampak masih membayangi kehidupan berbangsa kita. Dalam konteks itulah selalu mendesak untuk terus menangani pluralisme budaya kita dengan menggali sumber-sumber yang akan menjamin kehidupan-bersama sebagai sesama warga negara Indonesia. Dan, multikulturalisme menyediakan prinsip-prinsip yang kita butuhkan untuk itu.

Memang, kita punya bhineka tunggal ika. Tetapi bahwa letupan-letupan sosial masih kerap terjadi, yang sebagiannya disulut oleh sentimen berbedaan budaya, kiranya jelas bahwa bhineka tunggal ika haruslah dipandang sebagai prinsip yang dinamis. Ia perlu dielaborasi dan dikembangkan baik pada tataran teoritis atau ideal maupun lebih-lebih pada tataran operasional. Sebagaimana akan ditunjukkan nanti, multikulturalisme membantu kita dalam mengelaborasi dan mengembangkan prinsip-prinsip teoritis bhineka tunggal ika. Yang tak kalah penting tentu saja mengevaluasi operasionalisasi bhineka tunggal ika dalam kehidupan praktis kita, termasuk dalam regulasi. Tetapi regulasi sebagai salah satu bentuk operasionalisasi bhineka tunggal ika di luar jangkauan tulisan ini. Apa yang ingin digarisbawahi di sini adalah fenomena sosial-budaya dan politik yang diandaikan sebagai bentuk operasionalisasi bhineka tunggal ika.

Dalam pengalaman kita, ternyata bhineka tidak beroperasi secara penuh alias bekerja setengah hati. Untuk sebagian, hal itu disebabkan oleh kontradiksi politik kita, yang di satu sisi mengakui keragamaan namun di sisi lain justru meredam perbedaan. Kita ingat, ada masanya ketika di Indonesia perbedaan ditekan atas nama SARA, dan lain sebagainya. Untuk sebagian lagi, hal itu disebabkan juga oleh lompatan logika, yang menunjukkan rapuhnya elaborasi teoritis bhineka tunggal ika itu sendiri. Yakni bahwa keragaman hanya bisa diterima sejauh berada dalam lingkup perbedaan yang sangat terbatas, sebab hanya dengan cara itu persatuan bangsa dan negara bisa dicapai. Dirumuskan dengan cara lain: karena kita harus bersatu, maka kita tidak boleh berbeda betapapun kita beragam. Dengan demikian, sampai batas tertentu bhineka tunggal ika bekerja dengan asumsi bahwa persatuan tidak bisa dicapai dengan keragaman. Inilah kiranya logika di balik beroperasinya bhineka tunggal ika secara setengah hati itu.

Operasionalisasi bhineka tunggal ika yang setengah hati ini bisa juga kita telusuri dari jurusan lain, yaitu genealoginya. Kita tahu, semboyan bhineka tunggal ika diambil dari buku Sutasoma karya Mpu Tantular, seorang pujangga Jawa abad ke-14. Dalam kitab itu, bhineka tunggal ika sesungguhnya bukan prinsip sosial, budaya, atau politik, melainkan sebuah prinsip metafisis, sebuah gambaran tentang entitas yang abstrak. Ia menegaskan wujud dewa Bhudda dan Siwa yang dipandang berbeda namun sama. Mereka memang berbeda, tulis Mpu Tantular, namun pada hakekatnya sama, karena tidak ada kebenaran yang mendua (bhineka tunggal ika tana hana dharma mangrwa). Jadi, ungkapan itu sebenarnya mengemukakan sebentuk metafisika dalam sistem kepercayaan Jawa di abad ke-14. Inilah soalnya kemudian: ungkapan yang semula mengemukakan prinsip metafisis itu, kini “diturunkan” menjadi prinsip sosial-budaya yang seharusnya benar-benar operasional. Ungkapan itu “diturunkan” dari tataran abstrak ke tataran konkret. Tanpa elaborasi teoritis yang cukup, semboyan itu tampak gagap ketika harus beroperasi secara sosial-budaya.

Berbeda dengan bhineka tunggal ika, multikulturalisme secara genealogis lahir dari pengalaman sosial-budaya dan politik yang konkret. Multikulturalisme menekankan keragaman sebagai sebuah keniscayaan budaya. Mengeliminasi keragaman dalam bentuk apa pun berarti mengingkari prinsip keniscayaan sejarah ini. Yang pertama-tama ditekankan oleh multikulturalisme adalah keragaman etnis (kulit berwarna), berikut konsekuensi-konsekuensi sosial, budaya, ekonomi, dan politiknya. Dalam konteks ini, secara genealogis multikulturalisme relevan bagi Indonesia yang sedari awal memang multieknis. Tetapi apa yang lebih penting dari multikulturalisme pada tataran ini adalah pandangan bahwa keragaman (diversity) meniscayakan perbedaan (difference). Tak ada keragaman tanpa perbedaan. Keragaman mustahil tanpa perbedaan. Dengan kata lain, perbedaanlah yang memungkinkan keragaman, sehingga bagi multikulturalisme kedua-duanya harus sama-sama dirayakan.

Perlu digarisbawahi bahwa perbedaan yang dirayakan oleh multikulturalisme adalah perbedaan horisontal, bukan perbedaan vertikal. Perbedaan di sini tidak mengandung khirarki, sebab semua entitas budaya yang beragam dan berbeda-beda itu memiliki kedudukan setara secara sosial, budaya dan politik. Karena itu, kesetaraan (equality) budaya merupakan prinsip penting bagi multikulturalisme. Sebagaimana perbedaan merupakan keniscayaan, demikian juga kesetaraan merupakan keniscayaan. Keragaman, perbedaan, dan kesetaraan adalah kategori-kategori imperatif. Dalam konteks ini, Tariq Modood, seorang multikulturalis, mengatakan, multikulturalisme mentransformasikan ide kesetaraan sebagai kesamaan (sameness) ke ide kesetaraan sebagai perbedaan. Dengan kata lain, kesetaraan tidak mengandaikan kesamaan; kesetaraan justru mengandaikan perbedaan. Seluruh elemen budaya harus dipandang setara satu sama lain bukan karena kesamaan di antara berbagai elemen budaya itu sendiri, melainkan justru karena perbedaan di antara mereka.

Sejurus dengan logika itu, maka ikatan sosial-budaya dibangun atas dasar perbedaan, bukan kesamaan. Perbedaanlah yang menyatukan berbagai elemen budaya. Jika kesatuan merupakan “ideologi” sosial dan politik, sebagaimana diinginkan misalnya oleh negara-bangsa, maka kesatuan sosial dan politik diperjuangkan justru karena perbedaan yang memang niscaya dalam sebuah negara-bangsa. Dengan demikian, logika ini membalik pandangan lama bahwa berbagai etnis yang berbeda-beda bersatu karena ada cita-cita bersama yang menyatukan mereka. Dalam kasus Indonesia dan negara-negara bekas jajahan, kolonialisme dan nasionalisme dipandang telah menyatukan berbagai etnis untuk membangun negara bersama. Pandangan tersebut dianggap relevan hanya ketika kolonialisme masih bercokol dan nasionalisme lahir sebagai anak kandung kolonialisme itu sendiri. Ketika kolonialisme sudah hengkang, nasionalisme sesungguhnya telah kehilangan relevansinya. Namun demikian, sentimen kebangsaan bagaimanapun tetap perlu dipupuk demi menjamin kelangsungan negara-bangsa yang sudah berdiri. Pada tataran inilah nasionalisme memerlukan landasan baru, yaitu keragaman dan perbedaan yang memang hidup di tubuh bangsa itu sendiri.

Merayakan keragaman dan perbedaan sedemikian rupa, multikulturalisme mensyaratkan pengakuan terhadap semua unsur budaya, khususnya pengakuan kelompok-kelompok budaya dominan terhadap kelompok-kelompok budaya minoritas. Tentu saja pengakuan terhadap semua unsur budaya mensyaratkan keterbukaan dan toleransi. Pada tataran sosial dan budaya, pengakuan itu mungkin menimbulkan gesekan dan bahkan ketegangan sosial, namun hal itu merupakan dinamika yang wajar dalam proses tawar-menawar sosial dan budaya. Pengakuan terhadap semua unsur budaya mengandaikan adanya perlindungan terhadap semua unsur kebudayaan, terutama perlindungan kelompok budaya dominan terhadap kelompok budaya minoritas.

Meskipun multikulturalisme memberikan pandangan dan harapan baru bagi keinginan hidup bersama dalam pluralisme budaya, kritik terhadap multikulturalisme sudah lama terdengar. Sebagian kritik bersifat epistemologis; sebagian lagi bersifat ideologis. Secara epistemologis, multikulturalisme dipandangan terlalu terobsesi dengan keragaman dan perbedaan, bahkan cenderung mengkultuskan keragaman dan perbedaan itu sendiri. Asumsi multikulturalisme tentang keragaman dan perbedaan adalah bahwa keduanya baik pada dirinya sendiri, tanpa mempertanyakan benarkah secara ontologis keragamaan dan perbedaan itu baik. Bukankah ketegangan sosial dan kerusuhan etnis serta rasial justru disulut oleh perbedaan? Dalam pada itu, kritik ideologis terhadap multikulturalisme dilancarkan terutama oleh kaum radikalis-kiri dalam usaha mereka menjungkalkan kebudayaan kelompok dominan. Menurut mereka, multikulturalisme (liberal) hanya mendepolitisasi perbedaan dengan menekankan perayaan kosmetik terhadap keragaman budaya, bukan perjuangan transformatif melawan rasisme dan supremasi kulit putih.

Pada hemat saya, kritik terhadap multikulturalisme tidaklah meruntuhkan sendi-sendi multikulturalisme itu sendiri. Kritik terhadap multikulturalisme lebih merupakan tantangan sebagai batu uji untuk memperkokoh dasar-dasar epistemologis, ontologis, dan aksiologis multikulturalisme di hadapan fakta-fakta multikultural yang memang tak mungkin ditampik. Benar bahwa sampai batas tertentu perbedaan budaya telah menyulut ketegangan sosial. Tetapi justru karena itu multikulturalisme bermaksud mentransformasikan perbedaan sebagai faktor negatif dan destruktif menjadi faktor yang positif dan konstruktif bagi kebudayaan. Dan dalam arti itu multikulturalisme akan menjadi kekuatan transformatif bagi tatanan kebudayaan yang lebih baik.
Bagaimanakah kita memproyeksikan multikulturalisme bagi Indonesia, dan bagaimana sastra Indonesia mengambil peran di dalamnya?
Indonesia jelas merupakan negara multietnis dan multikultural, dan sastra Indonesia telah menyuarakan keragaman budaya Indonesia itu sendiri. Pengalaman Indonesia dan kesusastraannya dalam bersinggungan dengan modernisasi, yang menyeretnya pada pilihan-pilihan orientasi kebudayaan antara modernisasi dan tradisi, Barat dan Timur, dan seterusnya, telah memperlihatkan suatu dinamika budaya dan intelektual yang mengasyikkan. Hasil dari dinamika itu pada hemat saya sejalan dengan apa yang nanti merupakan semangat multikulturalisme, khususnya dalam hal menggarisbawahi keragaman budaya. Terutama sejak tahun 1980-an, sastra Indonesia telah merepresensikan kebudayaan-kebudayaan etnis dengan dinamika dan masalah internal mereka masing-masing.

Tetapi, representasi kebudayaan etnis dan lokal dalam sastra Indonesia lahir bukan dari rahim multikuralisme, bahkan bukan juga dari semangat kebhinekaan. Ia lebih merupakan kebutuhan primordial para sastrawan untuk menggali sumber-sumber tradisi dan akar budaya mereka. Sampai batas tertentu ia juga merupakan respon para sastrawan terhadap kecenderungan modernisasi dan westernisasi yang secara diam-diam atau terang-terangan beroperasi lewat orientasi kebudayaan yang sedang dijajakan (misalnya dalam Polemik Kebudayaan). Itulah sebabnya karya sastra Indonesia yang mengangkat tema kebudayaan etnis merefleksikan kegelisahan kultural pengarangnya terhadap fenomena sosial-budaya dalam lingkungan primordial dan tradisional mereka. Mereka tidak menggelisahkan tentang bagaimana kebhinekaan jadi mungkin dalam dinamika dan perkembangan sosial-budaya antaretnis di Indonesia. Seakan-akan kebhinekaan sudah jadi dan selesai, sebagaimana seringkali disuarakan dalam jargon-jargon politik dan ideologi negara.

Apa yang tampak kemudian dari fenomena ini adalah sastra Indonesia seakan merupakan etalase keragaman budaya etnis dan lokal yang masing-masingnya berdiri sendiri, dengan masalah mereka masing-masing, bahkan dalam perspektif mereka sendiri. Segera tampak pula kekayaan budaya Indonesia yang demikian melimpah dan dinamis, yang tentu merupakan sumber tak habis-habis bagi karya sastra kita. Demikianlah dalam etalase itu kita melihat dinamika dan masalah internal kebudayaan Minangkabau, Jawa, Sunda, Melayu, Bali, Dayak, Betawi, Papua, dan lain sebagainya, dalam perspektif mereka masing-masing. Tentu saja perkembangan tersebut merupakan fenomena dan sumbangan sangat penting bagi sastra Indonesia. Dan sumbangan-sumbangan serupa masih terus diberikan dengan munculnya karya-karya baru yang menyuarakan kebudayaan etnis, dan tentu dapat terus diberikan di masa-masa yang akan datang.
Dalam hubungannya dengan multikulturalisme, apa yang menarik di sini adalah bahwa sastra Indonesia sebagai etalase keragaman budaya sejalan dengan semangat multikulturalisme. Menekankan sedemikian rupa perbedaan dalam politik keragaman, beberapa multikulturalis enggan mencapai kesetaraan lewat jalan asimilasi budaya. Menurut mereka, suatu kebudayaan (minoritas) menjadi setara dengan kebudayaan lain (yang dominan) bukan karena percampuran atau perkawinan dua kebudayaan tersebut. Kesetaraan dicapai justru karena masing-masing menegaskan definisi-diri mereka yang memang berbeda satu sama lain. Sama dan sebangun dengan itu, dalam sastra Indonesia kita melihat kebudayaan etnis berbeda dengan kebudayaan etnis lain, dan masing-masing memposisikan diri sebagai setara satu sama lain. Demikianlah kebudayaan Minang, Jawa, Betawi, Sunda, Bali, Melayu, Dayak dan lain-lain tampak berbeda-beda, dan atas perbedaan itu mereka duduk sama rendah berdiri sama tinggi.

Yang ingin diajukan di sini adalah pentingnya lintas-etnis dan lintas-budaya dalam membangun politik keragaman (kebhinekaan) sekaligus sebagai kemungkinan bagi multikulturalisme Indonesia. Bhineka tunggal ika sebagai semboyan telah melahirkan keragaman, yang sebagiannya bersifat permukaan sebagaimana seringkali diperlihatkan antara lain lewat tarian dan pakaian tradisional. Sastra Indonesia telah memberikan dimensi-dimensi kedalaman pada kebhinekaan tersebut dengan menggali dan mempertanyakan masalah-masalah tradisional dalam kebudayaan etnis kita. Kiranya menarik dan perlu perkembangan ini dilanjutkan dengan membuka perspektif baru, yaitu persinggungan antarkebudayaan etnis. Masalah apa yang muncul jika kebudayaan Jawa bersinggungan secara intens misalnya dengan kebudayaan Melayu, hal mana yang pertama bersifat khirarkis dan heterogen sementara yang kedua cukup egaliter dan relatif homogen. Bagaimana kebudayaan Sunda melihat kebudayaan Papua atau sebaliknya, yang dalam hampir semua hal berbeda satu sama lain? Bagaimana kebudayaan Bali melihat kebudayaan Madura dan sebaliknya? Dan seterusnya.

Inilah satu kemungkinan bagi multikulturalisme dan sastra Indonesia hari ini dan masa depan. []

Makalah disampaikan pada Temu Sastra Nusantara V di Lampung, 1-3 Oktober 2010. Kemudian dimuat sebagai “Catatan Kebudayaan” majalah sastra Horison, Januari 2011.

Tinggalkan sebuah Komentar »

Belum ada komentar.

RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Jamal D. Rahman

demi masa, demi kata

WordPress.com

WordPress.com is the best place for your personal blog or business site.

kafe sastra Jamal D. Rahman

membicarakan puisi dan cerpen anda