Jamal D. Rahman

8 Januari 2011

Amir Hamzah: Penyair yang Kalah, tapi Menang

Filed under: Kritik Sastra — Jamal D. Rahman @ 05:00

Oleh Jamal D. Rahman

Bonda, waktu tuan melahirkan beta
Pada subuh embang cempaka
Adalah ibu menaruh sangka
Bahwa begini peminta anakda

Tuan aduhai mega berarak
Yang meliputi dewangga raya
Berhentilah tuan di atas teratak
Anak langkat musafir lata

Puisi Amir Hamzah itu termaktub pada sisi kanan makamnya yang sedih. Dia wafat secara tragis dan mengenaskan, 20 Maret 1946, dalam usia 35 tahun, pada suatu malam yang mencekam. Hingga beberapa tahun kemudian kepergiannya masih diselimuti kabut gelap, sebelum akhirnya terkuak. Di makam yang sedih itu, puisi di atas terasa memiliki konteks baru. Begini rupanya akhir hidup seorang penyair yang —dengan segala pengorbanan dan dedikasi tingginya— telah berjuang untuk bangsanya: dia dibunuh secara sadis oleh saudara-saudara sebangsanya sendiri.

Dia memang sebuah riwayat yang kelam, sebuah kisah yang kalah. Tapi bagaimanapun dia keluar sebagai pemenang.

Amir Hamzah, yang lahir di Tanjungpura, Langkat, 28 Februari 1911, tumbuh dalam keluarga bangsawan Kesultanan Langkat, Sumatera Utara sekarang. Kesultanan Langkat adalah salah satu kerajaan Melayu, yang di awal abad ke-20 merupakan kerajaan paling makmur berkat dibukanya perkebunan dan ditemukannya tambang minyak di Pangkalan Brandan. Ayah Amir Hamzah, Tengku Muhammad Adil, adalah saudara sepupu Sultan Mahmoed Abdoel Djalil Rachmat Sjah, sultan Langkat yang berkuasa antara 1927-1948. Adapun ibu Amir Hamzah adalah Tengku Mahjiwa.

Meskipun lahir dari keluarga bangsawan, Amir Hamzah lebih memposisikan dirinya sebagai orang biasa. Sebagai seorang anak berdarah bangsawan, dia sebenarnya memiliki gelar kebangsawanan, yaitu Tengku, Tengku Amir Hamzah. Namun gelar kebangsawanan tersebut tak pernah digunakannya. Dia menulis namanya sendiri Amir Hamzah saja (Sagimun, 1993: 33). Demikian pun dalam pergaulan, dia tidak menunjukkan status kebangsawanannya. Dalam percakapan sehari-hari, misalnya, ia tidak menggunakan aku, alih-alih dia merendah dengan menggunakan kita atau malah amba (hamba) (Yaafar, 1995: 51). Juga nanti setelah dia dewasa.

Amir Hamzah menempuh pendidikan dasar di Langkatsche School —belakangan berganti menjadi HIS— di Tanjungpura antara 1917-1924. Di samping itu, dia juga belajar Al-Qur’an, bahasa Arab, dan ilmu agama Islam di Maktab Putih, sekolah agama di lingkungan istana Langkat. Kesultanan Melayu Langkat bagaimanapun adalah keluarga Muslim yang taat, sehingga meskipun anggota keluarga belajar di sekolah Belanda, mereka tetap belajar agama Islam di sekolah kerajaan. Sejak belajar di dua sekolah itu, Amir Hamzah sudah memiliki minat pada sastra Melayu, baik pantun, syair, maupun hikayat.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Tanjungpura pada 1924, Amir Hamzah mengikuti ayahnya yang diangkat sebagai kepala wilayah (Luhak) Langkat Hulu, berkedudukan di Binjai. Di Binjai Amir memperdalam pengetahuan bahasa Arab dan ilmu agama Islam kepada Tuan Syekh Haji Abdul Karim dan Tuan Kadli Haji Moehamad Noh Ismail. Seterusnya Amir Hamzah menempuh pendidikan menengah pertama di (MULO) Medan, tidak jauh dari Binjai. Tapi sebelum pendidikan menengah pertamanya di Medan tamat, dia hijrah ke Batavia (Jakarta), 1928. Di Batavialah Amir Hamzah menyelesaikan pendidikan menengah pertamanya pada tahun 1929.

Setelah itu, Amir Hamzah pindah ke Solo, salah satu pusat tradisi dan kebudayaan Jawa. Di (AMS) kota ini dia menempuh pendidikan menengah atas, dengan spesialisasi kajian sastra timur. Di sinilah dia mengenal kebudayaan Jawa, belajar bahasa Sanskerta dan bahasa Jawa, yang nanti jelas mempengaruhi wawasan intelektualnya.

Yang tak kalah penting, di kota inilah Amir Hamzah mulai bersinggungan dengan gerakan nasionalis kaum muda, suatu gema penting dan kian santer terutama di Jawa dan Sumatera sejak Sumpah Pemuda 1928. Antara 29 Desember 1930-2 Januari 1931, para pelajar menyelenggarakan kongres Indonesia Muda di Solo. Indonesia Muda adalah organisasi pemuda yang menyatukan organisasi-organisasi pemuda kedaerahan seperti Jong Java dan Jong Sumatra. Kongres tersebut berhasil mendorong semangat nasionalisme kaum muda dari latar-belakang berbeda-beda. Pada kongres tersebut, Amir Hamzah terpilih sebagai ketua Indonesia Muda Cabang Solo. Dalam pada itu, dia adalah editor Garuda Merapi, buletin terbitan Indonesia Muda. Meskipun terus disorot dan diawasi oleh Belanda, Amir Hamzah tetap aktif dalam gerakan Indonesia Muda dan terus memimpin cabang Solo organisasi itu hingga dia menyelesaikan pendidikan menengah atasnya di AMS Solo, 1932.

Untuk melanjutkan studi, Amir Hamzah hijrah ke Batavia lagi. Di sini dia belajar di sekolah tinggi hukum (RHS). Di sela kegiatannya kuliah, dia mengajar di sekolah Perguruan Rakyat di Jakarta, sebuah lembaga pendidikan di bawah Taman Siswa yang kian memantapkan semangat nasionalismenya. Di samping itu, bersama Sutan Takdir Alisjahbana dan Armijn Pane, Amir Hamzah menerbitkan Pujangga Baru (1933), yang kelak menandai babak baru sejarah sastra Melayu-Indonesia. Dan, tak pelak lagi Amir Hamzah adalah pelopor utamanya.
Tapi di tahun 1936, ketika Amir Hamzah belum lagi merampungkan kuliahnya, dia dipanggil pulang oleh Sultan Langkat Mahmoed Abdoel Djalil Rachmat Sjah. Sang sultan meminta Amir untuk menikahi puteri sang sultan, Tengku Puteri Kamaliah. Bagi Amir, permintaan ini tentu saja merupakan goncangan hebat, sebab dia sudah menjalin asmara secara serius dengan seorang gadis Solo, Ilik Sundari. Lagipula, permintaan itu lebih merupakan sebuah titah seorang raja. Dan ini titah seorang raja yang adalah juga paman Amir Hamzah. Ia tak bisa ditawar. Ia meminta sikap tunduk. Maka, resepsi pernikahan pun digelar pada Januari 1938, selama tujuh hari tujuh malam.

Amir Hamzah pun diberi gelar Tengku Pangeran Indra Putera. Dia kemudian diangkat menjadi kepala Luhak Langkat Hilir di Tanjungpura, kemudian kepala Luhak Teluk Haru di Pangkalan Brandan, lalu ditarik ke istana menjadi Bendahara Paduka Raja (kepala bagian ekonomi Kerajaan Langkat) di Binjai, dan selanjutnya —sebagaimana ayahnya dulu— diangkat menjadi kepala Luhak Langkat Hulu di Binjai juga. Luhak adalah wilayah pemerintahan di bawah kerajaan, semacam provinsi sekarang.

Dan Proklamasi Kemerdekaan RI dikumandangkan, 17 Agustus 1945. Mr. Teuku Mohammad Hasan diangkat menjadi gubernur Sumatera. Lalu, pada 29 Oktober 1945, Teuku Mohammad Hasan mengangkat Amir Hamzah sebagai wakil pemerintah RI untuk daerah Langkat, berkedudukan di Binjai. Sang penyair menerima pengangkatan itu, namun dia mempertahankan posisinya sebagai kepala Luhak Langkat Hulu. Di tengah suhu pergerakan kaum republik yang sudah tinggi, sikap Amir Hamzah ini dianggap ambivalen. Ia dianggap tidak tegas dalam berpihak kepada revolusi kemerdekaan, kepada pemerintah RI, kepada republik.
Ditambah lagi dengan kemarahan rakyat terhadap para raja yang cenderung bermewah-mewah secara berlebihan, revolusi sosial pun dimulai pada Maret 1946. Tujuannya adalah membatasi kekuasaan para sultan (yang dianggap tidak berpihak kepada republik), menyerang istana, dan menyita kekayaan mereka. Api revolusi berkobar di mana-mana. Keadaan di seluruh kawasan jadi tak terkendali. Anarki tak terhindarkan. ٍSultan dan keluarganya diculik, termasuk Amir Hamzah.

Belakangan diketahui, bahwa para sultan dan keluarganya, juga Amir Hamzah, dibunuh secara keji, dan dikuburkan dalam sebuah kuburan massal yang dangkal di daerah Binjai. Tragisnya, melalui proses pengadilan di tahun 1949, terbukti bahwa Amir Hamzah dipancung oleh orang dekatnya sendiri (Abrar Yusra, 1996: 79-81). Selanjutnya, kerangka tulang Amir Hamzah dikuburkan kembali secara wajar di samping Masjid Azizi, Tanjungpura, Langkat, dekat makam kedua orangtuanya.

Amir Hamzah adalah riwayat yang kelam memang. Kisah yang kalah. Tapi bagaimanapun dia tetap keluar sebagai pemenang. Di tahun 1969 dia mendapatkan anugerah Satya Lancana Kebudayaan dari Presiden Soeharto, dan Anugerah Seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Mashuri. Lalu, pada tahun 1975 secara resmi dia diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Cukuplah itu sebagai bukti bahwa seluruh pengorbanan dan prestasi yang telah dicapainya takkan bisa dipancung. Dan, maut dalam puisi Amir Hamzah kini memiliki relevansi baru juga: di hadapan para pembunuhnya, sang penyair seakan menantang maut itu sendiri. Dia bukan seorang pengecut. Puisi tentang maut itulah yang termaktub pada sisi kiri kuburannya, seakan dengan kepala tegak:

Datanglah engkau wahai maut
Lepaskan aku dari nestapa
Engkau lagi tempatku berpaut
Di waktu ini gelap gulita.

Puisi di Antara Dua Cinta
Puisi-puisi Amir Hamzah lahir dari pengalaman dunia batinnya yang penuh gejolak dan guncangan. Puisi memang mengekspresikan pengalaman seorang penyair, yang oleh pengalamannya yang dahsyat seringkali terombang-ambing antara kebahagiaan dan kesedihan, antara suka dan duka, antara kegembiraan dan kepedihan. Semua pengalaman dahsyat selalu mendesak untuk diekspresikan. Namun dalam kasus Amir Hamzah, puisi-puisinya lahir pertama-tama atas kesadaran penuh sang penyair atas bahasa dan sastranya sendiri, atas kecintaan pada tradisi sastranya yang sudah relatif tua dan kini menghadapi tantangan baru. Itulah sebabnya Amir Hamzah mengekspresikan berbagai pengalamannya yang penuh guncangan dalam bahasa ibunya.

Kecintaan Amir Hamzah pada bahasa dan sastra Melayu tumbuh sejak usianya masih sangat muda. Ketika duduk di bangku sekolah dasar (HIS), dia sudah mencatat dan mengumpulkan pantun-pantun yang dikenal relatif luas di kalangan masyarakat Melayu Tanjungpura. Tengku Saidi Hoesny, saudara yang sekaligus teman sekolahnya, memberikan kesaksian tentang itu. Dia ingat salah satu pantun yang dicatat Amir Hamzah muda (Yaapar, 1995: 51):

Mengail ke Pulau Tuntung
Dapat seekor udang galah
Kalau nasih tidak beruntung
Apa pun dibuat jadi salah.

Bahwa Amir Hamzah mencatat dan mengumpulkan pantun, dalam usia sangat muda, jelaslah itu menunjukkan minat dan perhatiannya yang sangat khusus pada sastra.

Itu tidak mengherankan, sebab Amir Hamzah memang tumbuh dalam keluarga yang mencintai sastra Melayu. Ayahnya, Tengku Muhammad Adil, adalah pecinta sastra Melayu klasik. Nama akhir Amir Hamzah dinisbahkan pada sang kakek dari pihak ayah, Tengku Hamzah, yang tak lain adalah saudara kandung Tengku Abdul Aziz Abdul Jalil Rakhmatsjah, raja Langkat yang berkuasa antara 1893-1927. Di samping itu, dengan memberi nama Amir Hamzah jelaslah bahwa Muhammad Adil ingin menautkan sang anak pada salah satu karya penting dalam sastra Melayu klasik, yaitu Hikayat Amir Hamzah, sebuah kisah yang sangat populer tentang kepahlawanan Amir Hamzah, paman Nabi Muhammad.

Kecuali itu, Tengku Muhammad Adil adalah seorang terpelajar yang memiliki minat tinggi pada budaya baca dan usaha menumbuhkan budaya baca terutama di kalangan anak-anak muda. Di rumahnya, sang ayah mengelola perpustakaan, mengadakan kegiatan dan diskusi rutin. Tentu saja sang ayah mendorong Amir Hamzah untuk ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Melalui kegiatan dan diskusi itulah Amir Hamzah berkenalan dengan sastra Melayu klasik. Dalam usia sekitar 15 tahun dia tampak sangat tertarik pada isi dan kebesaran bahasa Melayu sebagaimana terdapat misalnya dalam Sejarah Melayu, Hang Tuah, dan tentu saja Hikayat Amir Hamzah. Dengan demikian, Amir Hamzah tumbuh dalam tradisi sastra Melayu klasik yang sangat dicintainya.

Semua itu kiranya mengilhami Amir Hamzah untuk menjadi seorang pengarang. Tradisi sastra Melayu —pantun, syair, hikayat dan lain-lain— telah membentuk jiwanya untuk mencintai bahasa dan sastra, sekaligus mendorongnya untuk menguasai bahasa Melayu sebaik mungkin. Sebagaimana kelak tampak dari karya-karyanya yang mempesona, Amir Hamzah jelas menguasai khazanah bahasa dan sastra Melayu. Meskipun sejak sekolah dasar sampai sekolah tinggi dia belajar di sekolah Belanda, dia menulis dalam bahasa Melayu-Indonesia, menerjemahkan karya sastra dunia ke dalam bahasa Melayu-Indonesia.

Apa yang menyulut sumbu kreativitas Amir Hamzah sebagai seorang pengarang? Apa yang membakar daya puitiknya sehingga dari perasaannya yang halus lahir puisi-puisi yang, dilihat dari perkembangan sastra Melayu-Indonesia modern, terasa baru dan segar?

Setidaknya ada tiga hal. Pertama, perpisahannya dengan ibu dan kampung halaman yang dicintainya. Seperti telah disebutkan, pada tahun 1928 Amir Hamzah meninggalkan sang ibu dan kampung halamannya, merantau ke Batavia untuk melanjutkan pendidikan tingkat menengahnya, dan seterusnya merantau ke Solo untuk pendidikan menengah atasnya. Perasaan terpisah ini tampak begitu dalam, sehingga Amir Hamzah merasa terasing, kesepian, dan tak putus dirundung rindu. Berkali-kali dia menyebut “Bonda”, mengungkapkan kerinduannya pada sang ibu atau mengadukan perasaannya sendiri pada sang ibu nun jauh di Langkat. Khususnya puisi-puisi dalam Buah Rindu merupakan ungkapan rasa sedih dan sendu dari seorang Amir Hamzah yang merasa terasing, sendiri, dan kesepian di tanah rantau. Merindukan sang ibu, Amir mendendangkan puisinya (“Bonda”):


Dalam tepuk air di batu
Dalam buai puncak kelapa
Dalam bisik kumbang menyeri
Bonda kudengar memanggil anakda

Pelangi membangun laksana perahu
Awan berarak bahtera ditiru
Bintang bertabur jempana serupa
Bonda kulihat duduk beriba.

Kedua, cinta yang gagal. Amir Hamzah setidaknya dua kali jatuh cinta, pada gadis yang berbeda, dan dua-duanya gagal. Ketika di Binjai, dia jatuh cinta pada Aja Bun, anak angkat orangtua Amir Hamzah. Mereka tinggal serumah, dan berjanji sehidup-semati. Namun ketika Amir Hamzah merantau ke Batavia, Aja Bun menikah dengan Tengku Husein Ibrahim, saudara Amir Hamzah sendiri. Tentu saja Amir terpukul. Dari Jakarta, kepada gadis pujaannya itu Amir berkirim puisi berjudul “Tuhanku, Apatah Kenal?”. Dalam pada itu, ketika di Solo, Amir menjalin hubungan asmara dengan Ilik Sundari, seorang gadis priayi Jawa. Namun belakangan Amir tak kuasa menolak pamannya, Sultan Langkat Mahmoed Abdoel Djalil Rachmat Sjah, yang meminta Amir menikahi puterinya, Tengku Puteri Kamaliah. Meskipun akhirnya Amir menikah dengan Kamaliah, cintanya kepada Ilik Sundari tak pernah padam. Untuk sebagian, mungkin sebagian besar, cinta yang tak sampai itulah yang mengilhami puisi-puisi cinta Amir Hamzah yang perih-pedih.

Ketiga, pencarian spiritual dan mistikal. Perasaan terpisah dari ibu, kampung halaman, kekasih, dan cinta yang gagal akhirnya mendorong Amir untuk menempuh jalan spiritual dan meditatif. Sang penyair rupanya menyikapi pengalaman demi pengalamannya yang pahit dan pedih sebagai pengalaman spiritual, yang selanjutnya memupuk dunia batinnya untuk benar-benar mengembangkan renungan-renungan mistikal. Dalam arti itu sang penyair mentransformasikan cinta romantis dan cinta duniawinya ke cinta mistikal atau cinta ilahi. Rasa rindu kepada kekasih ditransformasi menjadi rindu ilahi; hasrat berjumpa kekasih ditransformasi menjadi hasrat berjumpa dengan Tuhan; keinginan bersatu dengan kekasih ditransformasi menjadi keinginan bersatu dengan Tuhan.

Dengan penguasaan yang baik terhadap bahasa dan sastra Melayu, ditambah dengan pengalaman dunia batin dan intelektualnya yang selalu bergolak dan penuh guncangan, Amir Hamzah akhirnya menemukan jalannya sendiri: puisi-puisinya mengungkapkan berbagai dimensi kerohanian sebagai pengalaman personal seorang anak manusia. Memang, banyak puisi Amir Hamzah mengekspresikan perasaan-perasaan melankolis dan romantis sehubungan dengan pengalaman masa mudanya sekitar keterpisahan, keterasingan, rindu, dan cinta duniawi. Namun banyak puisinya, terutama yang ditulis belakangan, merefleksikan renungan-renungan meditatif yang berhubungan dengan pencarian dan pengalaman mistikal sebagai pengalaman spiritual sang penyair.

Di samping pengalaman-pengalaman yang penuh guncangan itu, pendidikan tentu saja memberi Amir Hamzah wawasan tersendiri, dan sedikit-banyak mempengaruhi karya-karyanya. Sebagaimana tampak terutama dari karya-karya terjemahannya berupa karya sastra Timur dalam Setanggi Timur dan Bagawat Gita, Amir memiliki minat pada kebudayaan Timur, temasuk dimensi spiritual dan mistikalnya. Di tengah pengarang-pengarang sebelum dan sezamannya yang berorientasi ke Barat, adalah Amir Hamzah yang memberikan wawasan ketimuran pada sastra Melayu-Indonesia, dengan memperkenalkan sastra Persia, India, Tiongkok, Jepang, dan Turki melalui terjemahan-terjemahannya. Itu tidak mengherankan juga, sebab di samping tumbuh dalam lingkungan kebudayaan Melayu yang adalah kebudayaan Timur, Amir Hamzah belajar di Jurusan Sastra Timur di sekolah menengah atas (AMS) di Solo, Jawa Tengah sekarang.

Di antara kesepian dan kerinduan, keterpisahan dan keterasingan, cinta duniawi dan cinta ilahi, puisi-puisi Amir Hamzah menguak sisi-sisi terdalam dunia batin manusia yang penuh guncangan, berikut jalan keluar yang mungkin diambil.

Membubung ke Puncak Rupa
Dan Amir Hamzah ditakdirkan sebagai tempat berbagai pertentangan saling bertembung satu sama lain. Dia adalah sosok yang menghadapi konflik hampir sepanjang hayatnya, baik konflik batin, konflik budaya, maupun konflik politik. Sejak dia merantau ke Batavia di tahun 1928, dia seakan terombang-ambing antara daerah lama tempat dia lahir dan tumbuh yang terdengar selalu memanggil-manggilnya di satu sisi, dan daerah baru yang menerimanya dengan riang demi masa depan yang diimpikannya di sisi lain. Dia terombang-ambing antara rasa sakit meninggalkan kampung halamannya dan rasa gembira menginjakkan kaki di tanah Jawa yang memang diidamkannya. Puisi “Teluk Jayakarta” adalah lagu gembira sekaligus pedih sang penyair menghadapi pertentangan batinnya sendiri sebagai seorang perantau.

Dan tensi pergolakan batin penyair ini terus meninggi bahkan kian kompleks. Hubungan asmara Amir Hamzah dengan Ilik Sundari yang kandas setelah sang penyair menikah dengan Tengku Puteri Kamaliah adalah pucuk gunung es dari ketegangan-ketegangan besar yang tidak saja dihadapi penyair sendiri, melainkan juga dihadapi bangsanya. Ialah ketegangan antara tradisi dan modernisasi, Timur dan Barat, adat dan kebebasan individu, feodalisme dan demokrasi, masa lampau dan masa depan. Kasus cinta Amir Hamzah-Ilik Sundari adalah bukti betapa tidak mudah mendamaikan ketegangan-ketegangan besar yang dihadapi Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa baru.

Amir Hamzah adalah seorang penyair yang berdiri tepat di garis perbatasan antara masa lalu dan masa depan, antara kelampauan dan keakanan, antara Melayu dan Indonesia. Dalam arti itu Amir Hamzah adalah buku pada ruas bambu sejarah sastra Melayu-Indonesia. Jejak-jejak kelampauan jelas terlihat pada puisi-puisinya terutama dalam Buah Rindu (ditulis antara 1928-1935), dan dia segera menjejakkan corak baru pada puisi-puisinya yang kemudian dalam Nyanyi Sunyi. Jejak kelampauan terutama berupa rima abab sebagai dalam pantun, rima aaaa sebagai dalam syair, serta empat kata pada setiap larik sebagai dalam pantun dan syair. Juga pada pelukisan alam yang banyak kita temukan dalam sastra Melayu. Sedangkan corak baru pada puisi-puisinya berupa penerobosan atau pelanggaran terhadap konvensi bentuk puisi trandisional Melayu. Juga bahasa yang penuh tenaga, pembayangan atau imaji yang segar, dan eksplorasi rima secara maksimal. Dengan demikian, Amir Hamzah dengan baik merawat kesinambungan masa lalu kebudayaannya sekaligus membuka lembaran tersendiri bagi masa depan kebudayaannya yang baru.

Beberapa puisi awal Amir Hamzah (dalam Buah Rindu) adalah puisi asmara, sebagian besarnya dalam corak puisi tradisional Melayu. Dalam puisi “Cempaka”, misalnya, penyair berbicara kepada alam (cempaka), seraya menitipkan pelukan kepada kekasihnya: Cempaka, aduhai bunga penglipur lara/ Tempat cinta duduk bersemayam/ Sampaikan pelukan wahai kesuma/ Pada adinda setiap malam// ….

Sehubungan dengan cinta dan puisi-puisi Amir Hamzah, apa yang penting adalah sikap penyair terhadap cintanya yang kandas, atau cara penyair mengatasi rasa sakitnya yang pastilah tak tertanggungkan. Sebagai seseorang yang berlatar agama Islam yang kuat, dia segera mengadukan masalahnya kepada Tuhan. Dalam puisi “Tuhanku, Apatah Kekal?”, yang dikirimkan Amir Hamzah kepada Aja Bun segera setelah cinta Amir kepada kekasih pujaannya itu kandas, sang penyair mencurahkan perasaannya yang sangat terpukul, seraya mengadu: Tuhan, berapa lama duka-lara ini mesti kutanggung? Dan, adakah lagi yang lebih berat dari lara ini yang mesti kutanggung?

Dalam pada itu, penyair mencoba meredam sakit luka hatinya yang kelewat berat. Sejalan dengan pengaduan penyair kepada Tuhan, dia menyikapi badai yang menghantam perasaannya sebagai takdir yang mesti diterima dengan lapang. Ia tak lain merupakan ketentuan Tuhan, dan menghadapi ketentuan Tuhan yang berat, tak ada sikap lebih baik daripada menerimanya dengan tulus-ikhlas. Kirasanya sikap inilah yang menguatkan hati Amir Hamzah sekaligus membuka pintu-pintu pencerahan batinnya yang nyaris gelap dan keruh. Menghibur hatinya yang remuk-redam, penyair mencoba meringatkan beban batinnya sendiri (“Senyum Hatiku, Senyum”):


Diam hatiku, diam
Cobakan ria, hatiku ria
Sedih tuan, cobalah pendam
Umpama di sekam, api menyala

Senyap, hatiku senyap
Adakah boleh engkau merana
Sudahlah ini nasib yang tetap
Engkau terima di pangkuan bonda.

Dalam perkembangan selanjutnya, cinta yang kandas merupakan momen sangat penting dan menentukan perkembangan kerohanian dan capaian estetik kepenyairan Amir Hamzah. Terpukul keras oleh cinta keduanya yang sekali lagi kandas, barangkali juga didorong oleh rasa frustrasi atas cintanya yang selalu berakhir menyakitkan, Amir sekali lagi berpaling kepada Tuhan. Semua itu pada akhirnya tak hanya menguatkan hati sang penyair dan membuka pintu-pintu pencerahan batinnya yang nyaris gelap. Lebih dari itu, ia membangkitkan kesadaran spiritual dan pencarian mistikal sang penyair. Sejak itu, puisi-puisinya bercorak sufistik, mengekspresikan hasrat pada ketenangan batin, mengemukakan rasa perih-pedih oleh rasa rindu dan cinta ilahi.

Puisi “Berdiri Aku” adalah salah satu puisi yang mengekspresikan kesadaran spiritual penyair. Dengan bahasa yang penuh tenaga, yang mulai memperlihatkan corak baru puisi-puisi Amir Hamzah, puisi tersebut mengemukakan —dalam kata-kata Amir Hamzah sendiri— “rupa maha sempurna” yang mengharu-biru hati sang penyair. Di tengah goncangan batinnya yang tak tertanggungkan, dalam “rupa maha sempurna” itulah penyair merasa sentosa, menemukan ketenangan batin dalam hidupnya yang terguncang. Bahkan, setelah guncangan dan pergolakan yang demikian hebat itu, tujuan hidup penyair sudah sedemikian jelas (“Berdiri Aku”): … Dalam rupa maha sempurna/ Rindu-sendu mengharu kalbu/ Ingin datang merasa sentosa/ Mencecap hidup bertentu tuju.

Kesadaran spiritual dan pencarian mistikal itu tampak sungguh-sungguh. Dalam puisi “Naik-naik”, penyair menegaskan pendakian spiritual yang ditempuhnya, sebuah pencarian sesuatu yang lebih tinggi dan agung. Dengan bahasa yang mengesankan, yang dihasilkan oleh eksplorasi kata-kata dan rima, baik asonansi maupun aliterasi, tentu pula oleh pergolakan batin yang luar biasa, penegasan penyair tentang pendakian dan dahaga spiritualnya begitu sugestif dan mempesona:

Membubung badanku, melambung, mengawan
Naik, naik, tipis-rampis, kudus-halus
Melayang-terbang, mengambang-kambang
Menyerupa-rupa merona-warni langit-lazuardi
….

Puisi tersebut mengemukakan sekali lagi usaha penyair meredam guncangan dan pergolakan batinnya, guncangan yang oleh penyair sendiri disebut badai dan topan. Di sini penyair menegaskan bahwa badai dan topan itulah yang melambungkan dunia batinnya melakukan pendakian spiritual dan pengembaraan mistikal: Bertiup badai merentak topan/ Larikan daku hembuskan badan/ Tepukkan daku ke puncak tinggi/ Ranggitkan daku ke lengkung pelangi. Lalu, sekali lagi penyair menegaskan hasratnya untuk mencapai puncak kesunyian yang tenteram, jauh dari pergolakan dunia yang menyakitkan: … biarkan daku tinggal di sini/ sentosa diriku di sunyi-sepi/ tiada berharap tiada meminta/ jauh Dunia di sisi Dewa.

Kesadaran spiritual penyair sedemikian bulat. Penyair kini bahkan dimabuk oleh rindu dan cinta ilahi. Tuhan adalah Kekasih yang menjadi pusat seluruh orientasi kesadaran mistikal penyair. Tuhan adalah Pesosa Maha Agung yang menyedot seluruh perhatian dan kesadaran penyair. Berkatalah penyair dengan penuh keyakinan, … Aduh kekasihku,/ Padaku semua tiada berguna/ Hanya satu kutunggu hasrat/ Merasa dikau dekat rapat/ Serupa Musa di puncak Tursina (“Hanya Satu”). Kini dunia batin penyair dikuasai oleh hasrat dan rindu untuk berjumpa sang Kekasih, sebuah perjumpaan agung sebagaimana dialami Nabi Musa di gunung Tursina. Sedemikian dalam rindu dan cinta ilahi menguasai dunia batin penyair, sehingga penyair kerap mendendangkan rindu untuk Kekasihnya, mengajak-Nya menari dalam tarian rohani paling memabukkan, melupakan seluruh kenangan duniawi (“Barangkali”):

Engkau yang lena dalam hatiku
Akasa swarga nipis-tipis
Yang besar terangkum dunia
Kecil terlindung alis

Mari menari dara asmara
Biar terrdengar swara swarna
Barangkali mati di pantai hati
Gelombang kenang membanting diri
.

Pengembaraan spiritual itu akhirnya mencapai puncak ekstase mistis. Hasrat kuat untuk berjumpa Tuhan, rindu ilahi yang tulus dan sungguh-sungguh, rupanya memberikan pencerahan spiritual luar biasa. Esktase mistis adalah puncak dari seluruh pengalaman dan guncangan spiritual serta pengembaraan mistikal yang sempat remuk-redam. Gambaran tentang puncak ekstase mistis yang dicapai Amir Hamzah agak beragam. Setiap pengalaman spiritual, apalagi ekstase mistis, pastilah berbeda-beda baik nuansa maupun intensitasnya. Ada kalanya ekstase mistis itu sedemikian menghanyutkan dalam riuh rohani yang seakan mematikan, sebagai dalam sajak “Hanyut Aku” ini:

Hanyut aku, kekasihku!
Hanyut aku!

Langit menyerkap, air berlepas tangan, aku tenggelam
Tenggelam dalam malam
Air di atas menindih keras
Bumi di bawah menolak ke atas
Mati aku, kekasihku, mati aku!

Ada kalanya ekstase mistis berlangsung begitu tenang, indah, dan tenteram, seperti kembang kelopak bunga di taman (“Terbuka Bunga”): terbuka bunga di hati!/ kembang rindang disentuh bibir-kesturimu/…/dengan mengelopaknya bunga ini, layulah bunga lampau, kekasihku…. Ada kalanya pula ekstase mistis berlangsung seperti pemenuhan hasrat birahi rohani paling syahwat (“Memuji Dikau”): … Dikecupnya bibirku, dipautnya bahuku, digantunginya leherku,/ hasratkan suara sayang semata./ Selagi hati bernyanyi, sepanjang sujud semua segala,/ bertindih ia pada pahaku, meminum ia akan suaraku …. Tentu saja, seluruh penggambaran tentang puncak ekstase mistis ini lebih merupakan cara penyair melukiskan pengalaman mistikalnya yang sesungguhnya tak bisa dilukiskan.

Puisi yang sangat bagus melukiskan atau mewakiliki seluruh perih-pedih cinta duniawi dan cinta ilahi Amir Hamzah tentu saja “Padamu Jua”. Sepintas puisi itu bisa dipahami sebagai cinta biasa atau cinta duniawi. Dalam puisi tersebut, mu, kau, dan engkau memang bisa dipahami sebagai kekasih duniawi. Namun penyair mengunci engkau dalam satu larik yang tak memungkinkan lagi dipahami sebagai kekasih duniawi, yaitu larik serupa dara di balik tirai. Kata serupa dalam larik tersebut adalah kunci. Karena engkau serupa dara, maka engkau bukanlah dara itu sendiri. Di situ, engkau tak lain adalah engkau spiritual, engkau mistikal. Puisi yang juga sangat mengesankan dari segi estetika itu melukiskan pula krisis spiritual penyair dalam pengembaraan mistikalnya yang pastilah tidak mulus.

Tidaklah mengherankan kalau Amir Hamzah terobsesi oleh esktase mistis. Selain belajar agama Islam sejak usia dini dan besar dalam lingkungan keluarga bangsawan Langkat yang saleh, Amir adalah juga anggota tarekat (Yaafar, 1985: 64). Ketika pulang ke Langkat di tahun 1929, Amir dibaiat menjadi angota tarekat Naqsyabandiah, dan setelah mencapai maqam baqa’, suatu tingkat spiritual yang sangat tinggi dalam struktur spiritual tarekat, ia beralih ke tarekat Qadiriyah.

Demikianlah, pertembungan kompleks dari berbagai guncangan cinta, pergulatan spiritual dan intelektual dalam hidup Amir Hamzah telah mengantarkannya ke singgasana sastra dan rohani yang teramat agung. Dia, dalam kata-katanya sendiri, telah membubung ke puncak rupa maha sempurna.[]

5 Komentar »

  1. Karya Sastra yang menawan berasal dari pengalaman penyair yang tak biasa pula 🙂

    Suka

    Komentar oleh Yuseptia Angretnowati — 26 Desember 2011 @ 05:00 | Balas

  2. Percintaan Amir hamzah dan ILik Sundari terlalu hebat untuk dihayati..seperti percintaan saya dengan seorang lelaki yang bernama Hamka……..Ah!!!terlalu banyak perang emosi

    Putri kamaliah…yang kusayangi
    Ilik Sundari……..Yang kukasihi

    Suka

    Komentar oleh Nik Mira Izyanie Binti Alwi — 18 Februari 2012 @ 05:00 | Balas

  3. menarik sekali tulisannya.
    senang sekali bisa membacanya… 🙂

    Suka

    Komentar oleh yudhiherwibowo — 24 Desember 2012 @ 05:00 | Balas

  4. walau berulang-ulang dibaca, tetap merinding.
    Terimakasih utk penulis yg dengan baik menguak bagian2 puisi Tengku Amir Hamzah..)

    Suka

    Komentar oleh Jeffry Yoris — 19 September 2013 @ 05:00 | Balas

  5. Walau sangat terlambaat untuk membaca kisah ini, saya berterima kasih kepada penulis karena dengan demikian saya sungguh tahu kisah Amir Hamzah.

    Suka

    Komentar oleh adapaloka — 29 November 2014 @ 05:00 | Balas


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Jamal D. Rahman

demi masa, demi kata

WordPress.com

WordPress.com is the best place for your personal blog or business site.

kafe sastra Jamal D. Rahman

membicarakan puisi dan cerpen anda