Jamal D. Rahman

9 Desember 2008

Idul Adlha: Semangat Melawan Diri Sendiri

Filed under: Esai Agama — Jamal D. Rahman @ 05:00

Oleh Jamal D. Rahman

Sejarah para nabi dan rasul adalah sejarah yang sangat menggetarkan, yang dengan energi kerohaniannya memancarkan kesucian dan kemurnian manusia dalam sejarah konkretnya yang seringkali begitu sulit dan berat. Sejarah mereka tetap menggetarkan melintasi ruang dan waktu, karena di situlah pusat abadi hakikat kemanusiaan dalam perjuangan mencapai misi suci kenabian dan kerasulan, yaitu menegakkan landasan iman bagi sejarah kemanusiaan yang sejati. Dan menegakkan landasan iman yang kokoh bagi sejarah kemanusiaan yang sejati pastilah tidak mudah, ada kalanya ia meminta darah dan airmata, bahkan menuntut pengorbanan yang amat besar. Tidaklah mengherankan kalau sejarah para nabi dan rasul yang begitu menggetarkan itu adalah riwayat manusia-manusia agung keluar dari lubang jarum sejarah mereka yang seringkali membuat mereka sendiri terguncang.

Demikianlah Nabi Muhammad diancam akan dibunuh terutama selama beliau berdakwah di Makkah. Dan peristiwa hijrah adalah usaha beliau meloloskan diri dari lubang jarum sejarah yang amat membahayakan itu. Dalam kadar dan corak yang berbeda-beda, riwayat serupa dialami juga oleh Nabi Isa a.s., Nabi Musa a.s., Nabi Yusuf a.s., dan hampir semua nabi dan rasul yang lain. Kisah-kisah mereka adalah riwayat yang mengagumkan tentang perjuangan manusia menegakkan cita keimanan di hadapan realitas kekufuran, perjuangan kerendahhatian di hadapan kecongkakan dan kesombongan. Perjuangan para nabi dan rasul itu, yang berdarah-darah dengan seluruh risiko dan pengorbanan yang tak ternilai, memperlihatkan jiwa yang teguh, hati yang kokoh, pikiran yang kuat, dan —di atas semuanya— memancarkan cahaya keimanan yang amat cemerlang di hadapan ancaman kemanusiaan yang amat berbahaya dan membahayakan. Adalah menggetarkan bahwa, untuk menghadapi semuanya, mereka rela mengorbankan segalanya.

Di antara kisah para nabi dan rasul yang menggetarkan itu, yang paling menggetarkan tentu saja adalah sejarah Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, dan Siti Hajar. Inilah tiga tokoh utama yang kita kenang hari ini. Nabi Ibrahim adalah leluhur para nabi dan rasul, khususnya rasul-rasul yang disebutkan di atas. Dengan seluruh rasa simpati, penghormatan, dan shalawat kita kepada para rasul tadi atas semua perjuangan dan pengorbanan mereka, kepada sejarah tiga tokoh utama inilah hari ini kita merundukkan muka dengan melantunkan takbir memuja keagungan Allah Swt. Mendahului pengorbanan luar biasa yang diberikan para rasul sesudahnya, Nabi Ibrahim telah terlebih dahulu menunjukkan sebentuk pengorbanan yang bebannya tiada tanding. Semata-mata karena pengorbanan itu bersifat relijius dan profetik, sebentuk kurban yang merupakan pancaran iman yang luar biasa, maka Nabi Ibrahim, Nabi Isa, dan Siti Hajar tidak hancur menerima beban keharusan berkurban yang sesungguhnya terlalu berat itu.

Bagi seorang ayah, pastilah terlalu berat untuk membunuh anak kandungnya sendiri, anak kandung yang bertahun-tahun ditunggu dengan penuh harap dan doa setelah karunia anak yang sangat terlambat. Bagi seorang anak kecil yang masih asyik menikmati masa-masa bermain, pastilah terlalu berat untuk menerima kenyataan bahwa dia mesti dibunuh oleh ayak kandungnya. Dan bagi seorang ibu, adakah ibu yang sanggup mengikhlaskan anak kandung yang dicintainya dibunuh oleh tangan tua ayah kandungnya sendiri? Tetapi, cahaya iman bagaimanapun terlalu agung di hadapan dunia gelap egoisme manusia. Dan tepat pada titik itulah cahaya iman memancarkan kekokohan sekaligus kekukuhan luar biasa pada dunia batin ketiga tokoh kita ini.

Itu berarti, puncak dari semua perjuangan dan pengurbanan yang luar biasa berat namun mesti ditanggung, tak lain adalah perjuangan melawan diri sendiri; perjuangan menundukkan egoisme pribadi. Untuk menjalankan perintah membunuh Nabi Ismail, ketiga tokoh kita ini tidak harus melawan siapa-siapa. Tak seorang musuh pun. Yang harus mereka lawan hanya dan hanya diri mereka sendiri.

Tetapi adakah musuh yang lebih berbahaya dibanding diri sendiri? Kisah pengurbanan Nabi Ismail secara implisit menegaskan, bahwa musuh paling berbahaya justru adalah diri sendiri, egoisme, hawa nafsu, kecenderungan dan godaan setaniah dalam diri manusia. Ia amat berbahaya, karena dia mengintai kita sepanjang waktu tanpa kita sadari. Ia amat berbahaya, karena ia menyamar dalam bentuk-bentuk pertimbangan logis dan rasional. Ia amat berbahaya, karena ia menyusup ke ruang kesadaran kita tanpa kita selalu awas terhadapnya. Diri kita, egoisme, kecongkakan, kesombongan, seringkali terlalu samar bahkan untuk sekadar kita duga.

Inilah kiranya yang oleh Rasulullah Saw disebut jihad akbar. Yaitu jihad melawan hawa nafsu.

Kisah pengurbanan Nabi Ismail adalah puncak dari jihad akbar dalam sejarah umat manusia. Ketiga tokoh kita ini adalah manusia-manusia agung yang dengan gemilang berhasil melawan diri mereka sendiri, menundukkan egoisme pribadi mereka di bawah terang cahaya iman, dan menaklukkan godaan setaniah dengan telak. Mereka adalah balatentara yang terjun ke medan perang mahadahsyat dalam pertempuran habis-habisan, pertempuran hidup-mati. Dan kita tahu, mereka keluar sebagai pemenang.

Dengan kemenangan dan seluruh perjuangan yang luar biasa itulah, ketiga tokoh kita ini mencapai kedudukan yang begitu istimewa di mata Allah Swt, yang dapat kita lihat jejaknya dengan kasat mata hingga hari ini. Yaitu, Siti Hajar dan Nabi Ismail dikubur di dalam ka’bah, rumah Allah, baytullâh yang dibangun oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Bahwa tak ada orang lain dikubur di dalam ka’bah, jelaslah bahwa itu merupakan bukti keistimewaan ibu dan anaknya itu, manusia-manusia agung itu, Siti Hajar dan Nabi Ismail. Adapun Nabi Ibrahim, ialah satu-satunya rasul yang oleh Allah dijadikan sahabat karib-Nya sendiri. Wattakhadza ‘l-Lâhu Ibrâhiîma khalîlan (QS 4: 125).

Ibadah haji secara lahiriah sesungguhnya merupakan napak tilas terhadap jihad akbar Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, dan Siti Hajar itu. Atas perintah Allah, Nabi Muhammad melembagakan secara formal napak tilas itu dalam berbagai bentuk praktik ibadah dalam ibadah haji. Yang menarik adalah, berkat ajaran Rasulullah Saw, ketiga tokoh kita ini menjadi medan magnet abadi yang menyedot jutaan umat Islam di seluruh dunia ke pusat pengurbanan yang tiada bandingannya itu. Nabi Ibrahim adalah pusat abadi gravitasi kerohanian yang telah memberikan inspirasi pada jutaan manusia tentang bagaimana manusia seharusnya memposisikan diri di hadapan Allah Swt, di hadapan diri sendiri, di hadapan sesama manusia, dan di hadapan alam semesta.

Sekitar satu juta umat Islam (jamaah haji) dari seluruh dunia berangkat ke sana setiap tahun, sebisa mungkin mereka menanggalkan egoisme pribadi masing-masing, dan di sana mereka lebur bersama sebagai atom-atom kecil ciptaan Allah, berharap mereka menemukan secercah cahaya Ibrahim, cahaya Ismail, dan cahaya Siti Hajar di dalam diri mereka. Bersamaan dengan itu, sebanyak 1,3 miliar umat Islam di seluruh dunia ambil bagian dalam karnaval besar kerohanian yang dahsyat ini, ambil bagian dalam repertoar akbar usaha menemukan spirit pengurbanan yang luar biasa ini. Semuanya ditarik oleh medan magnet dan pusat grafivitasi abadi kerohanian yang tiada bandinganya itu, kisah pengurbanan Nabi Ibrahim, Nabi Isa, dan Siti Hajar. Allah akbar.

Dan kita patut bergembira dan bersyukur, bahwa kita adalah bagian dari komunitas internasional yang turut merayakan karnaval besar kerohanian yang agung ini. Allahu akbar, walillâhil hamd.

Ya Allah ya Tuhan kami, kami rayakan karnaval besar kerohanian ini, berharap kami mendapatkan sebagian dari kekuatan yang Kau berikan kepada Nabi Ibrahim, Nabi Ismail, dan Siti Hajar guna menimbang-nimbang diri kami sendiri. Terlalu sering kami terkecoh oleh banyak hal di dalam dan di luar diri kami, hingga kami seringkali ragu: akan smpaikah kami pada diri kami yang paling sejati, diri kami yang Kau ridoi. Ya Allah ya Tuhan kami, bimbinglah kiranya kami untuk senantiasa mengalahkan diri sendiri, menaklukkan egoisme pribadi, menghancurleburkan kesombongan yang kadangkala tak kami sadari, agar kami menemukan diri kami yang paling sejati, diri yang senantiasa memancarkan keagungan paling hakiki.

Robbanâ ‘ja’alnâ muslimîna laka wa min dzurriyyatinâ umatan muslimatan laka, wa arinâ manâsikanâ wa tub ‘alaynâ, innaka anta ‘tawwâbur rahîm.

Robbanâ taqabbal minnâ, innaka anta-s samî’u-l ‘alîm.

Marilah kita berusaha menimba hikmah dari sejarah Nabi Ibrahim yang menggetarkan ini, guna meningkatkan kualitas iman dan taqwa kita kepada Allah Swt. Yaitu kualitas iman dan taqwa yang akan mengisi hidup kita dengan nilai-nilai kerohanian yang sejati, sehingga kita menjadi manusia yang benar-benar berarti di mata sesama manusia, alam, dan terutama Allah Swt. Amien ya Robbal ‘alamien.

Hari ini 4 ribu tahun yang lalu, Nabi Ibrahim dan Siti Hajar melempar setan yang menggodanya untuk membatalkan perintah mengurbankan Nabi Ismail. Dan hari ini di Mina, 1 juta jamaah haji melempar jamarat, lambang setan, egoisme, kesombongan, dan kekufuran. Maka hari ini juga kita melempar jamarat di dalam diri kita. Ya, kita adalah balatentara yang maju ke medan perang, tapi tidak untuk mengalahkan siapa-siapa, kecuali mengalahkan diri sendiri. Sebab ketika kita mengalahkan diri sendiri itulah, kita meraih kemenangan yang sesungguhnya.***

2 Komentar »

  1. Agak berat, memang karena ditulis bukan di jaman Cicak versus Buaya

    Suka

    Komentar oleh Sulaiman Djaya — 21 November 2009 @ 05:00 | Balas

  2. proses pembebasan manusia memang diawali dari adanya pemahaman yang lebih mendalam terhadap siapa manusia sebenarnya, dua kutub (Lahiriah dan Bathiniah),ok bang luar biasa endapanya…………

    Suka

    Komentar oleh dylla lalat — 23 Desember 2009 @ 05:00 | Balas


RSS feed for comments on this post. TrackBack URI

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Jamal D. Rahman

demi masa, demi kata

WordPress.com

WordPress.com is the best place for your personal blog or business site.

kafe sastra Jamal D. Rahman

membicarakan puisi dan cerpen anda